Pages

Wednesday, August 26, 2015

Tridimensi Peserta Didik



Hampir semua referensi kependidikan selalu mengawali pembahasan dengan mengedepankan esensi manusia, yang dalam konteks sekolah disebut peserta didik. Ketika itu pula muncul pertanyaan mengenai apa esensi manusia? Pertanyaan ini agaknya paling sulit menemukan jawabannya. Dari sisi pandang positif, manusia adalah makhluk Tuhan yang paling mulia, berakal berbudi, insan beradab, paling potensial untuk berkembang, dan sebagainya. Dari sisi pandang negative, kita pun melihat realitas bahwa sebagian manusia merupakan makhluk paling rakus, pengguna teknologi yang kejam, penguras sumberdaya alam yang tamak, pebisnis yang curang, dan sebagainnya. Tugas pendidikan
adalah mengoptimasi potensi peserta didik dari negative ke positive. Serta meningkatkan dan memapankan perilaku positif  itu.
Dengan mengikuti pemikiran filsuf kuno, Ban Van Rijken (2009) berpendapat bahwa manusia, termasuk peserta didik, terdiri dari unsure atau dimensi, yaitu fisik, nurani, dan pikiran. Fisik manusia adalah penampakan di permukaan jangkung, pendek, berkulit sawo matang, berambut ikal, bermuka lonjong, berhidung mancung, berbadan tegap, bermata sipit, beralis  tebal, dan sebagainya. Dari sisi energy yang dikeluarkan, fisik manusia merupakan sosok yang paling taat menerima perintah dari otak, baik berupa “Kata Hati“, bahkan yang bersifat refleks.
Jadi, fisik sesungguhnya merupakan instrument bagi pembantuan atas sesuatu yang lain. Bantuan untuk kata hati atau pikiran. Sehebat, seganteng, dan secantik apa pun fisik seseorang, dia nyaris selalu diperalat oleh kata hati dan pikiran. Sebalikya, karena kata hati dan pikiran itu pula, fisik manusia menerima perilaku pemanjaan yang luar biasa, karena ia merupakan penampakan ketika berada dalam konteks social. Adakalanya fisik bekerja sampai lelah, sebaliknya dimanja luar biasa dengan parfum, lipstick, pelindung, dan lain-lain.
Nurani atau “Nalar Hati” juga dapat dipandang sebagai bantuan sebagai bantuan bagi  keinginan seseorang. Nalar semacam ini sering kali diidentikkan dengan perasaan pribadi, seperti empati, simpati, bahkan mungkin antipati. Nalar hati esensinya baik bagi seseorang meski tidak selalu sama tafsirkannya secara sosial. Frasa “Gunakan Hati Nurani”, konotasinya baik, meski seringkali sangat subjektif. Sebaliknya,  frasa “Berhati Busuk”, selalu jelek maknanya bagi pihak ketiga, meski bagi seseorang “Pelaku” yang diberi label semacam itu sangat mungkin maksudnya baik dari sisi pandang dirinya.
Pikiran atau nalar otak juga dapat dipandang sebagai bantuan bagi keinginan seseorang atau peserta didik. Nalar otak biasanya berupa kesadaran menggunakan pikiran, meski kadang-kadang tidak harmonis dengan nalar hati. Idealnya nalar otak itu harmonis dengan latar hati, meski dalam konteks pribadi, sosial, ekonomi, dan cultural saja tidak sejalan. Perpaduan yang harmonis antara nalar hati dan nalar otak melahirkan kesadaran, harga diri, integritas, atau jati diri. Kedudukannya lebih penting daripada pemikiran dan nurani yang berjalan sendiri-sendiri. Kombinasi yang harmonis antara dimensi fisik, nurani, dan pikiran itulah yang menjadi esensi manusia. Karenanya, esensi manusia lebih dari sekedar unsur-unsur fisik, nurani, dan pikiran yang berjalan sendiri-sendiri. Fisik memililiki nilai lebih hanya dalam takaran komparansi fisikal, nurani memiliki nilai lebih dalam komparansi sifat-sifat kemanusiaan, dan pikiran memiliki nilai lebih dalam komparansi penalaran tingkat tinggi.
Sebagai manusia biasa, peserta didik itu beragam, baik secara fisik, nurani, maupun penalarannya. Kemampuan mereka berkembang pun untuk ketiga aspek itu beragam adanya. Keragaman itu haus dipandang sebagai lumrah dan layanan pendidikan untuk melakukan penguatan. Peserta didik yang “Kurang Bernurani” (pengganggu, sering bolos, culas, pembobong, tidak jujur, tidak ada perhatian, dan lain-lain) menginspirasi layanan pendidikan agar mereka kembali ke koridor pribadi sejati dan memupuknya menuju kesejatian sebagai manusia.
Peserta didik yang nalar intelektualnya lebih dibandingkan dengan yang lain menginspirasi layanan pendidikan untuk mengaktivasinya dalam rangka bimbingan sejawat. Peserta didik yang tingkat penalarannya kurang, menginspirasi layanan pendidikan menjadi lebih intensif, penyediaan program remedial, bimbingan khusus, dan sebagainya.Jadi, keragaman peserta didik secara fisik, nurani, dan pikiran menginspirasi aneka jenis layanan pendidikan dan pembelajaran kepada mereka.Kelemahan yang ada pada diri peserta didik tidak untuk mendiskriminasikannya, melainkan sebagai inspirator bagi munculnya aneka layanan pendidikan dan pembelajaran.


Baca Juga Artikel Lainnya :
8.   Tridimensi Peserta Didik

No comments:

Post a Comment