Program pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus tidaklah
sama dengan siswa lainnya, karena setiap siswa memiliki karakteristik dan
kebutuhan yang berbeda-beda. Sehingga dibutuhkan program pembelajaran yang
lebih khusus disesuaikan dengan kebutuhan siswa tersebut. Walaupun saat
pelaksanaan pembelajaran bersama-sama dengan siswa lain, tetapi program yang
harus diterapkan berbeda dengan program pembelajaran bagi siswa lainnya. Untuk
memperoleh hasil pembelajaran yang maksimal maka diperlukan pengembangan maupun
modifikasi pembelajaran dalam upaya memenuhi kebutuhan-kebutuhan setiap siswa.
Tarigan (2000) mengungkapkan bahwa ada beberapa tehnik
modifikasi yang dapat dilakukan pada saat pembelajaran jasmani bagi siswa
berkebutuhan khusus. diantaranya: modifikasi pembelajaran, dan ‘modifikasi
lingkungan belajar’.
A. Modifikasi
Proses Pembelajaran
Tarigan (2000) mengungkapkan bahwa “untuk memenuhi kebutuhan
para siswa berkebutuhan khusus dalam pembelajaran pendidikan jasmani maka
para guru sebaiknya melakukan modifikasi atau penyesuaian-penyesuaian dalam
pelaksanaan pembelajaran yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan siswa”.
Jenis modifikasi dalam pembelajaran ini berveriasi dan
bermacam-macam disesuaikan dengan kebutuhan dan keterbatasan siswa berkebutuhan
khusus, tetapi tetap memiliki tujuan untuk memaksimalkan proses pembelajaran.
Ada beberapa hal menurut Tarigan (2000;50) yang dapat dimodifikasi untuk
meningkatkan pembelajaran diantaranya:
1)
Penggunaan Bahasa
Bahasa merupakan dasar dalam melakukan komunikasi. Sebelum
pembelajaran dimulai, para siswa harus faham tentang apa yang harus dialakukan.
Pemahaman berlangsung melalui jalinan komunikasi yang baik antara guru dengan
siswa. Oleh karena itu, mutu komunikasai antara guru dan siswa perlu
ditingkatkan melalui modifikasi bahasa yang dipergunakan dalam pembelajaran.
Sasaran dari modifikasi bahasa bukan hanya ditujukan bagi
siswa yang mengalami hambatan berbahasa saja, tetapi bagi anak yang mengalami
hambatan dalam memproses informasi, gangguan perilaku, mental, dan jenis
hambatan-hambatan lainnya.
Contohnya pada siswa Autis, dia tidak bisa menerima dan
merespon instruksi yang di berikan apabila instruksi yang diberikan terlalu
panjang. Oleh karena itu instuksi yang diberikan kepada siswa autis harus
singkat tetapi jelas, seperti yang diungkapkan oleh Auxter (2001:504)
Begitupula dengan siswa yang memiliki hambatan mental dengan
tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, mereka tidak dapat memproses sebuah
instruksi yang terlalu panjang sehingga instruksi yang diberikan kepada mereka
haruslah singkat dan jelas.
Berbeda dengan contoh di atas penggunaan bahasa bagi siswa
tunanetra dan siswa yang berkesulitan belajar harus lengkap dan jelas, karena
siswa tunanetra memiliki keterbatasan dalam menggambarkan lingkungan yang ada
disekitarnya sehingga mereka membutuhkan penjelasan yang jelas dan lengkap.
Sementara bagi beberapa siswa berkesulitan belajar, ada
diantara mereka yang memiliki hambatan saat menerima instruksi yang diberikan,
contohnya siswa berkesulitan belajar yang memiliki gangguan perkembangan
motorik saat dia diberikan instruksi untuk menggerakan tangan kanan
tetapi tanpa disadari dan disengaja tangan kiri yang dia gerakan. Seperti yang
diungkapkan oleh Learner dalam Abdurrahman (2003:146) bahwa “siswa berkesulitan
belajar memiliki gangguan perkembangan motorik antara lain kekurangan pemahaman
dalam hubungan keruangan dan arah, dan bingung lateralitas (confused
laterality)”. oleh karena itu dia memerlukan instruksi yang jelas
bahkan kalau bisa guru juga ikut memperagakan gerakan yang diinstruksikan agar
siswa tidak mengalami kesalahan dalam melakukan gerakan dan
instruksi yang diberikan harus berurutan dari tahapan awal sampai akhir karena
apabila ada gerakan yang runtutannya hilang kemungkinan besar dia akan bingung
saat melakukan gerakan selanjutnya.
Sedangkan bagi siswa yang memiliki hambatan pendengaran guru
harus menggunakan dua metode komunikasi yakni komunikasi verbal dan Isyarat
yang sering disebut dengan komunikasi total. Komunikasi total ini dapat lebih
memahami instruksi yang diberikan oleh guru, pada saat siswa tidak memahami
bahasa isyarat dia bisa membaca gerak bibir dan juga sebaliknya.
2)
Membuat Urutan Tugas
Dalam melakukan tugas gerak yang diberikan oleh guru
terkadang siswa melakukan kesalahan dalam melakukannya, hal ini
diasumsikan bahwa para siswa memiliki kemampuan memahami dan membuat urutan
gerakan-gerakan secara baik, yang merupakan prasyarat dalam melaksanakan
tugas gerak.
Seorang guru menyuruh siswa “berjalan ke pintu” yang sedang
dalam keadaan duduk. Untuk melaksanakan tugas gerak yang diperintahkan oleh
guru tersebut, diperlukan langkah-langkah persiapan sebelum anak benar-benar
melangkahkan kakinya menuju pintu. Jika seorang siswa mengalami kesulitan dalam
membuat urutan-urutan peristiwa yang dialami, maka pelaksanaan tugas yang
diperintahkan guru tersebut akan menjadi tantangan berat yang sangat berarti
bagi dirinya. Oleh karena itu guru harus tanggap dan memberikan bantuan
sepenuhnya baik secara verbal maupun manual pada setiap langkah secara
beraturan.
3)
Ketersediaan Waktu Belajar
Dalam menghadapi siswa berkebutuhan khusus perlu disediakan
waktu yang cukup, baik lamanya belajar maupun pemberian untuk memproses
informasi. Sebab dalam kenyataan ada siswa berkebutuhan khusus yang mampu
menguasai pelajaran dalam waktu yang sesuai dengan siswa-siswa lain pada
umumnya.
Namun pada sisi lain ada siswa yang membutuhkan waktu lebih
banyak untuk memproses informasi dan mempelajari suatu aktivitas gerak
tertentu. Hal ini berarti dibutuhkan pengulangan secara menyeluruh dan
peninjauan kembali semua aspek yang dipelajari. Demikian juga halnya
dalam praktek atau berlatih, sebaiknya diberikan waktu belajar yang berlebih
untuk menguasai suatu keterampilan atau melatih keterampilan yang telah
dikuasai
Contohnya bagi siswa yang memiliki hambatan mental dengan
tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, dia tidak dapat memproses informasi atau
perintah yang diberikan dengan cepat, sehingga dia akan mengalami kesulitan dan
sedikit membutuhkan waktu lebih banyak dalam melakukan kegiatan tersebut.
Begitu pula dengan siswa yang memiliki hambatan motorik, mereka membutuhkan
waktu yang lebih saat melakukan sebuah aktivitas jasmani karena hambatan yang
dimilkinya.
Contoh kegiatannya, pada saat kegiatan berlari mengelilingi
lapangan siswa yang lain di berikan alokasi waktu 2 menit untuk dapat
mengelilingi lapangan, tetapi bagi siswa yang memiliki hambatan mental, motorik
dan perilaku mungkin membutuhkan alokasi waktu 4 sampai 5 menit untuk dapat
mengelilingi lapangan tersebut.
Jadi waktu yang diberikan kepada siswa yang memiliki
hambatan harus disesuaikan dengan kemampuan dan hambatan yang dimiliki
oleh siswa tersebut, tetapi bukan erarti harus selalu lebih dari siswa lainnya
karena pada kenyataanya ada siswa yang memiliki hambatan dapat menguasai
pelajaran waktu yang dibutuhkannya sama dengan siswa lainnya. Sesuai dengan apa
yang diungkapkan oleh Tarigan (2000;56) bahwa “dalam menghadapi siswa cacat
perlu disediakan waktu yang cukup, baik lamanya belajar maupun pemberian untuk
memproses informasi. Sebab dalam kenyataannya ada siswa yang cacat mampu
menguasai pelajaran dalam waktu yang sesuai dengan rata-rata anak normal”
4)
Modifikasi Peraturan Permainan
Memodifikasi peraturan permainan yang ada merupakan sebuah
keharusan yang dilakukan oleh guru pendidikan jasmani agar program pendidikan
jasmani bagi siswa berkebutuhan khusus dapat berlangsung dengan baik. Oleh
karena itu guru pendidikan jasmani harus mengetahui modifikasi apa saja yang
dapat dilakukan dalam setiap cabang olah raga bagi siswa berkebutuhan khusus.
Berikut ini ada beberapa cabang olahraga yang dimodifikasi
peraturan permainannya bagi siswa berkebutuhan khusus:
a)
Atletik
Bagi beberapa siswa berkebutuhan khusus cabang olahraga
altetik terutama cabang berlari ini tidak memerlukan begitu banyak penyesuaian,
tetapi bagi siswa tunanetra dan siswa tunarungu sangat membutuhkan penyesuaian.
Contoh penyesuaian yang dilakukan bagi siswa tunanetra saat mengikuti
pembelajaran atletik adalah pada saat berlari siswa tunanetra memegang tali
yang terbentang dari garis star sampai ke garis finish jadi saat berlari siswa
tidak tersesat atau bertabrakan dengan siswa lainnya. Atau cara
lain seperti yang diungkapkan oleh Auxter (2005) pada saat berlari siswa
tunanetra diikuti oleh teman yang memiliki penglihatan normal dari
belakang dengan saling memegang tali. jadi pada saat harus berbelok ke kanan
temannya menggerakan talinya kesebelah kanan dan itu menandakan berbelok ke
sebelah kanan dan sebaliknya.
Peraturan atletik pada umumnya saat start di lakukan
biasanya wasit membunyikan pistol atau peluit sebagai tanda dimulainya
pertandingan tersebut. Tetapi bagi siswa tunarunggu hal tersebut tidaklah
sesuai dengan keterbatasan mereka, maka diperlukan sedikit penyesuaian
diantaranya dengan mengganti peluit atau pistol dengan alat yang dapat
memberikan dilihat mereka contohnya seperti bendera. Jadi pada saat
pertandingan dimulai wasit mengibaskan bendera sebagai tandanya.
b)
Sepak Bola
Permaiana sepakbola bagi kebanyakan siswa berkebutuhan
khusus tidak terlalu banyak memerlukan penyesuaian, hanya ukuran lapangan yang
harus di modifikasi karena siswa berkebutuhan khusus memiliki tingkat kekuatan
atau kemampuan fisik yang lemah sehingga mudah kecapean. Jadi mereka hanya
bermain setengah lapangan sepak bola besar atau lebih kecil lagi dari itu
sesuai dengan kemampuan mereka.
Tetapi bagi siswa tunanetra ada beberapa penyesuaian yang
dilakukan diantaranya bola dan gawang yang harus mengeluarkan bunyi agar bisa
dikenali oleh mereka. Lapangan yang diperkecil serta tidak ada aturan
bola keluar.
Masih banyak lagi permainan atau cabang olahraga bagi siswa
berkebutuhan khusus yang memerlukan penyesuaian.
B. Modifikasi
Lingkungan Belajar
Dalam meningkatkan pembelajaran pendidikan jasmani bagi
siswa yang berkebutuhan khusus maka suasana dan lingkungan belajar perlu
dirubah sehingga kebutuhan-kebutuhan pendidikan siswa dapat terpenuhi secara
baik untuk memperoleh hasil maksimal.
Adapun teknik-teknik memodifikasi lingkungan belajar siswa
menurut Tarigan dalam Penjas adaptif (2000: 58) sebagai berikut:
1)
Modifikasi Fasilitas dan Peralatan
Memodifikasi fasilitas-fasilitas yang telah ada atau
menciptakan fasilitas baru merupakan keharusan agar program pendidikan jasmani
bagi siswa berkebutuhan khusus dapat berlangsung dengan sebagai mana mestinya.
Semua fasilitas dan peralatan tentunya harus disesuaikan
dengan kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh siswa. Oleh karena itu
diperlukan sebuah modifikasi dan penyesuaian pada fasilitas dan peralatan yang
akan digunakan oleh siswa berkebutuhan khusus. Ada beberapa modifikasi tersebut
meliputi:
a)
Pengecatan,
pengapuran atau memperjelas garis-garis pinggir atau batas lapangan
b)
Memperlebar
lintasan agar dapat dilalui oleh kursi roda
c)
Mengubah
atau menyesuaikan ukuran bola dalam permainan sepak bola
d)
Memodifikasi
bola menjadi bercahaya dan berbunyi bagi siswa tunanetra
2)
Pemanfaatan Ruang Secara Maksimal
Pembelajaran pendidikan jasmani identik
diselenggarakan di lapangan yang luas dimana semua siswa dapat
berlari-lari kesana kemari, sampai-sampai terkadang guru akan kesulitan apabila
lapangan yang luas tersebut tidak bisa digunakan dan mungkin akan mengganti
program pembelajaran yang awalnya akan diselenggarakan di lapangan menjadi
pembelajaran materi di dalam kelas. Padahal sebetulnya pembelajaran pendidikan
dapat dilaksanakan dimana saja asalkan tidak membahayakan pembelajaran
tersebut.
3)
Menghindari Gangguan dan Pemusatan
Konsentrasi
Segala bentuk gangguan saat pembelajaran pendidikan jasmani
dapat datang dari mana saja baik dari dalam pembelajaran maupun luar
pembelajaran. Gangguan tersebut dapat berupa kebisingan suara yang mengganggu
konsentrasi, orang lain yang tidak berkepentingan berada di dalam lapangan,
benda-benda yang dapat mengganggu jalannya pembelajaran, dan lain sebagainya.
Khusus bagi siswa yang mengalami gangguan belajar,
hiperaktif dan tidak bisa berkonsentrasi lama, faktor-faktor tersebut merupakan
gangguan yang sangat berarti, namun bagi siswa siswa lainnya tidak
terlalu mengganggu.
Semua factor-faktor di atas, perlu dihilangkan atau
dihindari semaksimal mungkin, agar para siswa dapat memusatkan perhatian dan
berkonsentrasi pada tugas-tugas yang diberikan. Tarigan (2001:61) mengungkapkan
bahwa.
Baca juga artikel lainnya tentang :
Artikel Terkait
0 comments:
Post a Comment