Hampir semua referensi kependidikan selalu mengawali
pembahasan dengan mengedepankan esensi manusia, yang dalam konteks sekolah
disebut peserta didik. Ketika itu pula muncul pertanyaan mengenai apa esensi
manusia? Pertanyaan ini agaknya paling sulit menemukan jawabannya. Dari sisi
pandang positif, manusia adalah makhluk Tuhan yang paling mulia, berakal
berbudi, insan beradab, paling potensial untuk berkembang, dan sebagainya. Dari
sisi pandang negative, kita pun melihat realitas bahwa sebagian manusia
merupakan makhluk paling rakus, pengguna teknologi yang kejam, penguras
sumberdaya alam yang tamak, pebisnis yang curang, dan sebagainnya. Tugas
pendidikan
adalah mengoptimasi potensi peserta didik dari negative ke positive.
Serta meningkatkan dan memapankan perilaku positif itu.
Dengan mengikuti pemikiran filsuf kuno, Ban Van Rijken
(2009) berpendapat bahwa manusia, termasuk peserta didik, terdiri dari unsure
atau dimensi, yaitu fisik, nurani, dan pikiran. Fisik manusia adalah penampakan
di permukaan jangkung, pendek, berkulit sawo matang, berambut ikal, bermuka
lonjong, berhidung mancung, berbadan tegap, bermata sipit, beralis tebal,
dan sebagainya. Dari sisi energy yang dikeluarkan, fisik manusia merupakan
sosok yang paling taat menerima perintah dari otak, baik berupa “Kata Hati“,
bahkan yang bersifat refleks.
Jadi, fisik sesungguhnya merupakan instrument bagi
pembantuan atas sesuatu yang lain. Bantuan untuk kata hati atau pikiran.
Sehebat, seganteng, dan secantik apa pun fisik seseorang, dia nyaris selalu
diperalat oleh kata hati dan pikiran. Sebalikya, karena kata hati dan pikiran
itu pula, fisik manusia menerima perilaku pemanjaan yang luar biasa, karena ia
merupakan penampakan ketika berada dalam konteks social. Adakalanya fisik
bekerja sampai lelah, sebaliknya dimanja luar biasa dengan parfum, lipstick,
pelindung, dan lain-lain.
Nurani atau “Nalar Hati” juga dapat dipandang sebagai
bantuan sebagai bantuan bagi keinginan seseorang. Nalar semacam ini
sering kali diidentikkan dengan perasaan pribadi, seperti empati, simpati,
bahkan mungkin antipati. Nalar hati esensinya baik bagi seseorang meski tidak
selalu sama tafsirkannya secara sosial. Frasa “Gunakan Hati Nurani”,
konotasinya baik, meski seringkali sangat subjektif. Sebaliknya, frasa
“Berhati Busuk”, selalu jelek maknanya bagi pihak ketiga, meski bagi seseorang
“Pelaku” yang diberi label semacam itu sangat mungkin maksudnya baik dari sisi
pandang dirinya.
Pikiran atau nalar otak juga dapat dipandang sebagai bantuan
bagi keinginan seseorang atau peserta didik. Nalar otak biasanya berupa
kesadaran menggunakan pikiran, meski kadang-kadang tidak harmonis dengan nalar
hati. Idealnya nalar otak itu harmonis dengan latar hati, meski dalam konteks
pribadi, sosial, ekonomi, dan cultural saja tidak sejalan. Perpaduan yang
harmonis antara nalar hati dan nalar otak melahirkan kesadaran, harga diri,
integritas, atau jati diri. Kedudukannya lebih penting daripada pemikiran dan
nurani yang berjalan sendiri-sendiri. Kombinasi yang harmonis antara dimensi
fisik, nurani, dan pikiran itulah yang menjadi esensi manusia. Karenanya,
esensi manusia lebih dari sekedar unsur-unsur fisik, nurani, dan pikiran yang
berjalan sendiri-sendiri. Fisik memililiki nilai lebih hanya dalam takaran
komparansi fisikal, nurani memiliki nilai lebih dalam komparansi sifat-sifat
kemanusiaan, dan pikiran memiliki nilai lebih dalam komparansi penalaran
tingkat tinggi.
Sebagai manusia biasa, peserta didik itu beragam, baik
secara fisik, nurani, maupun penalarannya. Kemampuan mereka berkembang pun
untuk ketiga aspek itu beragam adanya. Keragaman itu haus dipandang sebagai
lumrah dan layanan pendidikan untuk melakukan penguatan. Peserta didik yang
“Kurang Bernurani” (pengganggu, sering bolos, culas, pembobong, tidak jujur,
tidak ada perhatian, dan lain-lain) menginspirasi layanan pendidikan agar
mereka kembali ke koridor pribadi sejati dan memupuknya menuju kesejatian
sebagai manusia.
Peserta didik yang nalar intelektualnya lebih dibandingkan
dengan yang lain menginspirasi layanan pendidikan untuk mengaktivasinya dalam
rangka bimbingan sejawat. Peserta didik yang tingkat penalarannya kurang,
menginspirasi layanan pendidikan menjadi lebih intensif, penyediaan program
remedial, bimbingan khusus, dan sebagainya.Jadi, keragaman peserta didik secara
fisik, nurani, dan pikiran menginspirasi aneka jenis layanan pendidikan dan
pembelajaran kepada mereka.Kelemahan yang ada pada diri peserta didik tidak
untuk mendiskriminasikannya, melainkan sebagai inspirator bagi munculnya aneka
layanan pendidikan dan pembelajaran.
Baca Juga Artikel Lainnya
:
8.
Tridimensi Peserta Didik
Artikel Terkait
0 comments:
Post a Comment